Thursday 30 September 2010

Shring tentang "BULLYING DI SEKOLAH"

sebagai guru banyak saya menemukan tingkah anak yang suka menyakiti atu mengancam temanna. ternyata namanya bullying.
Dari berbagai sumber yang saya kumpulkan, semua sepakat mengartikan bullying sebagai suatu tindakan yang mengganggu orang lain, bisa secara fisik, verbal, atau emosional. Bullying sering kali terlihat sebagai perilaku pemaksaan atau usaha menyakiti secara fisik ataupun psikologis terhadap seseorang atau kelompok yang lebih ”lemah” oleh seseorang atau sekelompok orang yang mempersepsikan dirinya lebih ”kuat”.

Perbuatan pemaksaan atau menyakiti ini terjadi di dalam sebuah kelompok, misalnya kelompok murid di sekolah. Bisa saja bentuknya adalah tindakan memukul, mendorong, mengejek, mengancam, memalak uang, melecehkan, menjuluki, meneror, memfitnah, menyebarkan desas-desus, mendiskriminasi, dan lain sebagainya. Kini, bullying tidak hanya dapat dilakukan secara tatap muka, tetapi bisa lewat e-mail, chatting, internet yang berisi pesan-pesan yang menyinggung perasaan orang lain.

Bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang, suatu perilaku mengancam, menindas, dan membuat perasaan orang lain tidak nyaman. Tindakan ini dilakukan dalam jangka waktu sekali, berkali-kali, bahkan sering atau menjadi sebuah kebiasaan. Berarti, sebenarnya bullying adalah tindakan kekerasan yang tidak hanya terbatas terjadi di antara para murid di sekolah, siapa pun dan di mana pun dapat mengalami tindakan ini.

Dampak bagi korban

Korban biasanya akan merasakan berbagai emosi negatif, seperti marah, dendam, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam, tetapi tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengembangkan perasaan rendah diri dan tidak berharga. Bahkan, tak jarang ada yang ingin keluar dan pindah ke sekolah lain. Apabila mereka masih bertahan di situ, mereka biasanya terganggu konsentrasi dan prestasi belajarnya atau sering sengaja tidak masuk sekolah. Dampak psikologis yang lebih berat adalah kemungkinan untuk timbulnya masalah pada korban, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, dan ingin bunuh diri.

Penanganan

Paling ideal adalah apabila ada kebijakan dan tindakan terintegrasi yang melibatkan seluruh komponen mulai dari guru, murid, kepala sekolah, sampai orangtua, yang bertujuan untuk menghentikan perilaku bullying dan menjamin rasa aman bagi korban. Program anti-bullying di sekolah dilakukan antara lain dengan cara menggiatkan pengawasan dan pemberian sanksi secara tepat kepada pelaku, atau melakukan kampanye melalui berbagai cara. Memasukkan materi bullying ke dalam pembelajaran akan berdampak positif bagi pengembangan pribadi para murid.

Pemberdayaan individual bagi anak

- Beri kesempatan agar anak mau mengomunikasikan secara terbuka kepada orangtua, guru, atau orang dewasa lain yang mereka percaya dapat membantu mereka. Pupuk kedekatan hubungan, hargai perasaannya jika sedang curhat, tidak menyelamatkannya dari emosi negatif, tetapi berdayakan dia. Mengalami kondisi sulit akan membentuk daya tahan baginya.

- Katakan kepada anak bahwa tidak ada satu pun cara yang paling tepat untuk menghadapi bullying, satu cara yang terlihat benar bagi seseorang mungkin tidak sesuai untuk yang lain. Yang penting adalah bahwa anak sudah mencoba, mengetahui berbagai pilihan cara, dan dapat memutuskan siapa yang dapat membantunya sejauh ini. Saran untuk mengabaikan tindakan pelaku bisa saja diberikan, tetapi tidak selalu berhasil. Perlu dilakukan strategi lainnya.

- Latih anak untuk berani bicara, dengan kata lain bertindak asertif. Biarkan pelaku tahu bahwa anak tidak nyaman dengan perlakuannya, tetapi dengan kata-kata yang tidak balik menyakiti dan tidak membiarkan tindakan bullying terus berlangsung. Anak sebagai korban memiliki hak untuk membela diri, dan ada cara cerdas untuk melakukannya. Pastikan anak berbicara dengan cara yang memecahkan masalah dan tidak menciptakan lebih banyak masalah dengan orang lain.

Patti Criswell (2009) dalam bukunya, Stand up for Yourself and Your Friends, memberikan beberapa tips agar anak sebagai korban terlihat kuat dan dapat bertahan menghadapi pelaku:

1. Bertindak percaya diri: tegakkan kepala dan bahu, tataplah mata pelaku tanpa bermaksud menantang dan jaga suara agar tetap stabil saat berbicara. Bertindak percaya diri akan membantu anak merasa lebih percaya diri.

2. Beristirahat: jika rasa percaya diri anak memudar, minta anak menjauh dari situasi tersebut.

3. Usahakan tetap tenang: anak dilatih untuk mencoba berekspresi terganggu atau bosan. Jangan biarkan si pelaku tahu dia berhasil mengganggunya.

4. Mendinginkan diri: dengan minum atau memercikkan air di wajah untuk membantu menenangkan perasaan panas.

5. Bernapas dalam-dalam. Menarik napas untuk memasukkan rasa percaya diri dan kekuatan, dan mengeluarkan perasaan stres dan khawatir.

6. Lepaskan saja: berpikir tentang orang dewasa di sekolah yang dapat mendengarkan dan membantu jika anak mengalami hari yang berat. Jika tidak ada, tuliskan perasaan sehingga anak dapat membicarakannya ketika sampai di rumah.

7. Latih anak agar tidak mencoba untuk membalas dendam, karena dua kesalahan tidak membuat menjadi benar. Tidak meminta orang lain untuk berpihak, karena hanya akan terus melanjutkan pertengkaran. Tidak tinggal di rumah untuk menghindari si pengganggu di sekolah. Jangan bertindak histeris-hindari berteriak, merengek, dan kehilangan kontrol.

Taken from Kompas by: Agustine Dwiputri Psikolog

Tuesday 28 September 2010

Mengajar 3 Level Anak Terasa Bedanya

Just to share. Mungkin diantara anda ada yang seprofesi dengan saya? I'm an English teacher. tapi mengajar 3 level anak berbeda; maksudnya pagi ngajar Bahasa Inggris di SD, siang ngajar Bhs.Inggris di salah satu lembaga pendidikan di Solo. Saya rasakan suka dukanya di tiap level, dan tentu kerasa perbedaannya.
Begini; di SD anak-anak tentu bersifat benar2 seperti anak kecil. nangis, berantem dengan temannya, dikit2 tanya ke guru, tapi masih imut dan lucu. nek kata orang jawa masih lugu juga begitu. itu jika anak kelas 1 - 3 SD. tapi jika sudah kelas 4-6, wah sudah lumayan bawel ternyata. Mungkin mereka berpikir sudah gede tanpa mereka sadari mereka masih anak2, hehe..... wah ya begitulah.
Di lembaga saat ngajar anak2 SMP, mereka lebih mudah diatur, mendengarkan guru, tidak rame, tapi juga tidak merasa sudah dewasa. Level yang saya rasa pas untuk saya masuki. kadang2 saya kembali teringat kepinginan saya dulu, menjadi guru bahasa Inggris SMP. tapi ternyata nasib begini. harus disyukuri.
Saat ngajar anak2 SMA, saya merasa benar bahwa anak2 sudah dewasa. cenderung kritis, aktif, walu kadang suka bercanda. karena posisi saya sbg tentor, beda dengan guru tentunya mereka jauh bisa lebih dekat. tak jarang setelah lulus dan sudah tidak les lagi mereka sering share ke saya. berbagai karakter anak, beda juga cara menanganinya. Belum kelar ceritanya, puannjaaaang seeehhh... see u next time, BYE